Hingga saat ini nama raja Airlangga masih dikenang di dalam
ingatan masyarakat Jawa dan di berbagai cerita rakyat juga literatur, serta
sering diabadikan namanya di berbagai tempat di Indonesia. Airlangga bermakna
"air yang melompat", dikisahkan Airlangga berhasil lolos dari
peristiwa Mahapralaya atau ("bencana besar") yang dianggap bagai air
bah. Sehingga Airlangga juga adalah julukan bermakna sebagai air yang melompat.
Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja kerajaan Bedahulu dari wangsa
Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri wangsa Isyana dari
kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan
mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta
mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata Pangkaja
(menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta
sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga
mengakui sebagai keturunan dari raja Mpu Sindok dari wangsa Isyana yang
memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Medang dari bhumi Mataram di Jawa Tengah
ke Jawa Timur, atau lazim disebut dengan Medang periode Jawa Timur.
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh
(saudara ibunya Mahendradatta) di Wwatan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang
sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang
berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari
Lwaram (diperkirakan sekarang adalah sekitar Ngloram, Cepu, Blora), yang
merupakan sekutu dari Kerajaan Sriwijaya yang mendapat dukungan kuat dari
wangsa Syailendra untuk memberontak. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti
Pucangan (atau Calcutta Stone). Yang dianggap sebagai bencana Mahapralaya
layaknya air bah yang mematikan, pembacaan Kern atas prasasti tersebut yang
juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi
tahun 938 Saka, atau sekitar 1016 M.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh dan seluruh kerabat raja
tewas, istana Wwatan turut dibakar, sedangkan Airlangga yang merupakan menantu
sekaligus keponakannya beserta putri Dharmawangsa berhasil lolos dari maut ke
hutan pegunungan (Vana giri) Wonogiri ditemani pembantunya yang bernama Mpu
Narotama. Saat itu ia berusia 26 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai
pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat
dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Pada saat pelarian dan dalam masa persembunyiannya dengan
kalangan pertapa, setelah melewati tiga tahun hidup di dalam hutan pada tahun
1019, Airlangga didatangi utusan rakyat beserta senopati yang masih setia,
menyampaikan permintaan agar dirinya mendirikan dan membangkitkan kembali sisa-sisa
kejayaan Medang. Atas dukungan dari para pendeta dari ketiga Aliran (Hindu,
Buddha, dan Mahabrahmana) ia kemudian membangun kembali sisa-sisa kerajaan
Medang yang istananya telah hancur tersebut.
Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu
kota baru bernama Watan Mas di lereng Gunung Penanggungan.Nama ini masih
dipakai sebagai nama suatu desa (Desa Wotan Mas Jedong) di Kecamatan Ngoro,
Kabupaten Mojokerto. Ketika Airlangga naik takhta, wilayah kerajaannya hanya
meliputi daerah Mojokerto, Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal raja
Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Pada tahun 1025, Kedatuan Sriwijaya di Sumatra yang merupakan
musuh besar dari wangsa Isyana dikalahkan oleh Rajendra Coladewa raja dari
Colamandala Kerajaan Chola, India. Hal ini menjadi sebuah kesempatan dan
membuat Airlangga lebih leluasa dalam mempersiapkan diri untuk menaklukkan
Pulau Jawa.
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar